A. SEJARAH EJAAN BAHASA INDONESIA
Sebelum
jauh membahas mengenai ejaan yang disempurnakan saya akan menjelaskan
perkembangan sejarah ejaan Bahasa Indonesia. Berdasarkan sejarah
perkembangan ejaan, Bahasa Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan,
antara lain:
1. Ejaan Van Ophuysen
Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuysen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuysen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut:
1. Huruf y ditulis j, seperti kata-kata jang, pajah, sajang;
2. Huruf u ditulis oe, seperti kata-kata goeroe, itoe, oemoer;
3. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.
2. Ejaan Suwandi
Penggagas Ejaan Soewandi adalah Suwandi. Karena itulah dalam sejarah
bahasa, namanya dibicarakan orang sebagai salah satu tokoh yang pernah
menentukan tonggak perkembangan bahasa Indonesia.
Sebagai ketentuan ejaan Bahasa Indonesia,
Ejaan Soewandi diberlakukan pada 17 Maret 1947. Kala itu, kemunculannya
untuk menggantikan Ejaan Van Ophuijsen yang digunakan sejak 1901.
Beberapa contoh ejaan yang membedakan Ejaan Soewandi dengan Ejaan Van
Ophuijsen ialah:
1. Huruf 'oe' menjadi 'u', seperti pada goeroe → guru.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya dinyatakan dengan (') ditulis dengan 'k', seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an.
4. Awalan 'di-' dan kata depan 'di' kedua-duanya ditulis serangkai dengan
kata yang mengikutinya. Kata depan 'di' yang menunjukkan kata keterangan
tempat pada contoh dirumah, disawah, tidak dibedakan dengan imbuhan 'di-' yang menunjukkan kata kerja pada dibeli, dimakan.
3. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.
2. SEJARAH EYD
Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September 1967.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri.
Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan
asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang
Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdakan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972
diresmikanlah pemakaikan ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh
Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun
1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut
merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia
yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan dari pada
Ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang dipakai sejak dipakai sejak bulan Maret 1947.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas.
Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975
memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan"
dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
4. HAL-HAL YANG DIATUR DALAM EYD
Ada beberapa hal yang diatur dalam EYD, antara lain:
1. Pemakaian Huruf
a. Huruf Kapital Atau Huruf Besar
+ Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
+ Huruf kapital
dipakai sebagai huruf pertama ungkapan yang berhubungan dengan nama
Tuhan dan nama kitab suci, termasuk ganti untuk Tuhan.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
+ Huruf kapital
dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang
diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang, nama
instansi, atau nama tempat.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
+ Huruf kapital
dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa-bangsa dan
bahasa. Perlu diingat, posisi tengah kalimat, yang dituliskan dengan
huruf kapital hanya huruf pertama nama bangsa, nama suku, dan nama bahasa, sedangkan huruf pertama kata bangsa, suku, dan bahasa ditulis dengan huruf kecil.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama khas dalam geografi.
+ Huruf
kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, nama
resmi badan/ lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama
dokumen resmi.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf kapital setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan/ lembaga.
+ Huruf kapital
dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata
ulang sempurna) dalam penulisan nama buku, majalah, surat kabar, dan
judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, dalam, yang, untuK yang tidak terletak pada posisi awal.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti Bapak, Ibu, Saudara, Kakak, Adik, Paman, yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
+ Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
b. Huruf Miring
+ Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan.
+ Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
+ Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata ilmiah atau ungkapan asing, kecuali yang sudah disesuaikan ejaannya.
2. Penulisan Kata
a. Penulisan Kata Depan di,
ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari
ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan
kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata, seperti kepada dan daripada.
Misalnya:
Bermalam sajalah di sini.
Di mana dia sekarang?
Kain itu disimpan di dalam
lemari.
Kawan-kawan bekerja di dalam
gedung.
Dia berjalan-jalan di luar
gedung.
Dia ikut terjun ke tengah
kancah perjuangan.
Mari kita berangkat ke kantor.
Saya pergi ke sana kemari
mencarinya.
Ia datang dari Surabaya kemarin.
Saya tidak tahu dari mana
dia berasal.
Cincin itu terbuat dari emas.
Kata-kata yang dicetak
miring di dalam kalimat seperti di bawah ini ditulis serangkai.
Misalnya:
Kami percaya sepenuhnya kepadanya.
Dia lebih tua daripada saya.
Dia masuk, lalu keluar lagi.
Bawa kemari gambar itu.
Kesampingkan saja
persoalan yang tidak penting itu.
Catatan:
Kata di- yang bertindak
sebagai imbuhan, ditulis serangkai dengan kata dasarnya.
Contoh: dijual
Imbuhan di- dirangkaikan
dengan tanda hubung jika ditambahkan pada bentuk singkatan atau kata
dasar yang bukan bahasa Indonesia.
Misalnya:
di-PHK
di-upgrade
b. Penulisan Kata Ganti ku-,
kau-, -ku, -mu, dan -nya
Kata ganti ku- dan kau-
ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; -ku, -mu, dan –nya
ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Buku ini boleh kaubaca.
Bukuku, bukumu, dan
bukunya tersimpan di perpustakaan.
Rumahnya sedang diperbaiki.
Kata-kata ganti itu (-ku,
-mu, dan -nya) dirangkaikan
dengan tanda hubung apabila digabung dengan bentuk yang berupa
singkatan atau kata yang diawali dengan huruf kapital.
Misalnya:
KTP-mu
SIM-nya
STNK-ku
c. Penulisan Partikel
a. Partikel -lah,
-kah, dan -tah ditulis
serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Bacalah buku itu
baik-baik!
Apakah yang tersirat dalam
surat itu?
Siapakah gerangan dia?
Apatah gunanya bersedih
hati?
b. Partikel pun
ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Apa pun permasalahannya,
dia dapat mengatasinya dengan bijaksana.
Hendak pulang tengah malam pun sudah
ada kendaraan.
Jangankan dua kali, satu kali pun
engkau belum pernah datang ke rumahku.
Jika Ayah membaca di teras, Adik pun
membaca di tempat itu.
Catatan:
Partikel pun pada gabungan
yang lazim dianggap padu ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Adapun sebab-sebabnya
belum diketahui.
Bagaimanapun juga, tugas
itu akan diselesaikannya.
Baik laki-laki maupun perempuan
ikut berdemonstrasi.
Sekalipun belum selesai,
hasil pekerjaannya dapat dijadikan pegangan.
Walaupun sederhana, rumah
itu tampak asri.
c. Partikel per
yang berarti ‘demi’, ‘tiap’, atau ‘mulai’ ditulis terpisah
dari kata yang mengikutinya.
Misalnya:
Mereka masuk ke dalam ruang satu per
satu.
Harga kain itu Rp50.000,00 per helai
Pegawai negeri mendapat kenaikan
gaji per 1 Januari.
3. Penulisan Tanda Baca
a.
Tanda titik
1. Tanda titik
dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
2. Tanda titik dipakai pada akhir singkatan
nama orang.
3. Tanda titik dipakai pada akhir singkatan
gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan.
4. Tanda titik dipakai pada singkatan kata atau
ungkapan yang sudah sangat umum.
5. Tanda titik dipakai untuk
memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu atau jangka
waktu.
6. Tanda titik dipakai untuk
memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya.
7. Tanda titik tidak
dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak
menunjukkan jumlah.
8. Tanda titik tidak dipakai
dalam singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau
organisasi, serta nama dokumen resmi maupun di dalam akronim yang sudah
diterima oleh masyarakat.
9. Tanda titik tidak
dipakai dalam singkatan lambang kimia, satuan ukuran, takaran, timbangan,
dan mata uang.
10. Tanda titik tidak dipakai
pada akhir judul yang merupakan kepala karangan, atau kepala ilustrasi, tabel,
dan sebagainya.
b.Tanda Koma (,)
1. Tanda koma dipakai di
antara unsur-unsur dalam suatu pemerincian atau pembilangan.
2. Tanda koma dipakai untuk
memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara yang berikutnya,
3a. Tanda koma dipakai untuk
memisahkan anak kalimat dari induk kalimat apabila anak kalimat tersebut
mendahului induk kalimatnya.
3b. Tanda koma tidak dipakai
untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat apabila anak kalimat tersebut
mengiringi induk kalimat.
4. Tanda koma dipakai di
belakang kata atau ungkapan penghubung antara kalimat yang terdapat pada awal
kalimat.
5. Tanda koma dipakai di
belakang kata-kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan, yang terdapat pada awal
kalimat.
6. Tanda koma dipakai untuk
memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
7. Tanda koma dipakai di antara
(i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan
(iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan..
8. Tanda koma dipakai untuk
menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
9. Tanda koma dipakai di antara
bagian-bagian dalam catatan kaki.
10. Tanda koma dipakai di antara
nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari
singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
11. Tanda koma dipakai di
muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan
angka.
12. Tanda koma dipakai untuk
mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
13. Tanda koma dipakai untuk
menghindari salah baca di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat..
c. Tanda Titik Koma (;)
1. Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.
2. Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam suatu kalimat majemuk sebagai pengganti kata penghubung.
d. Tanda Titik Dua (:)
1. Tanda titik dua dipakai
pada akhir suatu pernyataan lengkap bila diikuti rangkaian atau pemerian
.2. Tanda titik dua dipakai sesudah
kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
3. Tanda titik dua dipakai dalam
teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan.
4. Tanda titik dua dipakai (i)
di antara jilid atau nomor dan halaman, (ii) di antara bab dan ayat dalam
kitab-kitab suci, atau (iii) di antara judul dan anak judul suatu karangan.
5. Tanda titik dua dipakai untuk
menandakan nisbah (angka banding).
6. Tanda titik dua tidak
dipakai kalau rangkaian atau pemerian itu merupakan pelengkap yang
mengakhiri pernyataan
e. Tanda Hubung (-)
1. Tanda hubung menyambung
unsur-unsur kata ulang.
2) hanya digunakan pada tulisan cepat dan notula, dan tidak dipakai pada teks karangan.
2) hanya digunakan pada tulisan cepat dan notula, dan tidak dipakai pada teks karangan.
2. Tanda hubung menyambung huruf
kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian tanggal.
3. Tanda hubung dapat dipakai
untuk memperjelas hubungan bagian-bagian ungkapan.
Bandingkan:ber-evolusi dengan be-revolusi.
Bandingkan:ber-evolusi dengan be-revolusi.
4. Tanda hubung dipakai untuk
merangkaikan (a) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf
kapital; (b) ke- dengan angka, (c) angka dengan -an, (d)
singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (e) nama jabatan
rangkap.
5. Tanda hubung dipakai untuk
merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing.
f. Tanda Pisah (–)
g. Tanda Elipsis (...)
h. Tanda
Tanya (?)
i. Tanda
Seru (!)
Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau
pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan,
ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.
j. Tanda Kurung ((...))
1. Tanda kurung mengapit
keterangan atau penjelasan.
2. Tanda kurung mengapit
keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan.
3. Tanda kurung mengapit
huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan.
4. Tanda kurung mengapit angka
atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan.
k. Tanda
Kurung Siku ([...])
1. Tanda kurung siku mengapit
huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau
bagian kalimat yang ditulis orang lain.
2. Tanda kurung siku mengapit
keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung.
l. Tanda Petik
("...")
1. Tanda petik mengapit
petikan langsung yang berasal dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis
lain.
2. Tanda petik mengapit judul
syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.
3. Tanda petik mengapit istilah
ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus.
4. Tanda petik penutup mengikuti
tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.
5.
Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda petik yang mengapit kata atau
ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian
kalimat.
m. Tanda Petik Tunggal ('...')
1. Tanda petik tunggal mengapit
petikan yang tersusun di dalam petikan lain.
2. Tanda petik tunggal mengapit
makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan
n. Tanda Garis Miring (/)
1. Tanda garis miring dipakai di
dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang
terbagi dalam dua tahun takwim.
2. Tanda garis miring dipakai
sebagai pengganti kata tiap, per atau sebagai tanda bagi dalam pecahan
dan rumus matematika.
3. Tanda garis miring sebaiknya tidak
dipakai sebagai pengganti kata atau.
o. Tanda Penyingkat (Apostrof)(')
Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun.4. Penulisan Singkatan Atau Akronim
Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan
yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Sedangkan akronim, ialah
singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun
gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai
kata.
Khusus untuk pembentukan akronim, hendaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut.
- Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia.
- Akronim dibentuk dengn mengindahkan keserasian kombinasi vocal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Pedoman pembentukan singkatan dan akronim
diatur dalam Keputusan Mendikbud RI Nomor 0543a/U/198, tanggal 9
September 1987 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan.
5. Penulisan Angka Dan Lambang Bilangan
Bilangan dapat dinyatakan dengan angka atau kata. Angka dipakai sebagai lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.
- Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
- Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, L (50), C (100), D (500),
M (1000), V (5.000).
Bilangan dapat dinyatakan dengan angka atau kata. Angka dipakai sebagai lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.
- Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
- Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, L (50), C (100), D (500),
M (1000), V (5.000).
Aturan penulisan angka dan lambang bilangan dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), yaitu:
a.
Bilangan di dalam teks yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata
ditulis dengan huruf, kecuali bilangan itu dipakai secara berurutan
seperti dalam perincian atau paparan.
Misalnya:
- Deni menonton drama itu sampai tiga kali.
- Koleksi Perpustakaan di Undiksha mencapai satu juta buku.
- Di antara 50 anggota yang hadir dalam rapat itu 40 orang setuju, dan 10 orang tidak setuju dengan argumen Deni.
Misalnya:
- Deni menonton drama itu sampai tiga kali.
- Koleksi Perpustakaan di Undiksha mencapai satu juta buku.
- Di antara 50 anggota yang hadir dalam rapat itu 40 orang setuju, dan 10 orang tidak setuju dengan argumen Deni.
b.
Bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf, jika lebih dari dua
kata, susunan kalimat diubah agar bilangan yang tidak dapat ditulis
dengan huruf itu tidak ada pada awal kalimat.
Misalnya:
- Panitia mengundang 250 orang peserta dalam seminar itu (bukan 250
orang peserta diundang Panitia dalam seminar itu).
- Lima puluh siswa kelas 6 lulus ujian.
Misalnya:
- Panitia mengundang 250 orang peserta dalam seminar itu (bukan 250
orang peserta diundang Panitia dalam seminar itu).
- Lima puluh siswa kelas 6 lulus ujian.
c. Angka yang menunjukkan bilangan utuh besar dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca.
Misalnya:
- Proyek pemberdayaan ekonomi rakyat itu memerlukan biaya Rp10
triliun.
- Perusahaan itu baru saja mendapat pinjaman 550 miliar rupiah.
d. Angka digunakan untuk menyatakan (a) ukuran panjang, berat, luas, dan isi; (b) satuan waktu; (c) nilai uang; dan (d) jumlah.
Misalnya:
- 0,5 sentimeter
- Tahun 1928
- 10 liter
- 17 Agustus 1945
- Rp2.000,00
e. Angka digunakan untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen atau kamar.
Misalnya:
- Jalan Pulau Buton II No. 5
- Apartemen No. 7
- Kamar No. 9
Misalnya:
- Jalan Pulau Buton II No. 5
- Apartemen No. 7
- Kamar No. 9
f. Angka digunakan untuk menomori bagian karangan atau ayat kitab suci.
Misalnya:
- Bab X
- Pasal 8
- Halaman 78
Misalnya:
- Bab X
- Pasal 8
- Halaman 78
g. Penulisan bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut.
Misalnya:
- Bilangan utuh: dua belas (12), tiga puluh (30), dll.
- Bilangan pecahan: setengah (½), tiga perempat(¾), satu persen (1%),
dll.
Misalnya:
- Bilangan utuh: dua belas (12), tiga puluh (30), dll.
- Bilangan pecahan: setengah (½), tiga perempat(¾), satu persen (1%),
dll.
h Penulisan bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara berikut.
Misalnya:
- Pada awal abad XX (angka Romawi kapital).
- Pada abad ke-20 ini (angka Arab).
- Di tingkat kedua gedung itu (huruf).
Misalnya:
- Pada awal abad XX (angka Romawi kapital).
- Pada abad ke-20 ini (angka Arab).
- Di tingkat kedua gedung itu (huruf).
i Penulisan bilangan yang mendapat akhiran -an mengikuti cara berikut.
Misalnya:
- Lima lembar uang 1.000-an (Lima lembar uang seribuan).
- Tahun1950-an (Tahun seribu sembilan ratus lima puluhan)
Misalnya:
- Lima lembar uang 1.000-an (Lima lembar uang seribuan).
- Tahun1950-an (Tahun seribu sembilan ratus lima puluhan)
j. Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks (kecuali di dalam dokumen resmi, seperti akta dan kuitansi).
Misalnya:
- Di lemari itu tersimpan 805 buku dan majalah.
- Kantor kami mempunyai dua puluh orang pegawai.
k. Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya
harus tepat.
Misalnya:
- Bukti pembelian barang seharga Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
ke atas harus dilampirkan pada laporan pertanggungjawaban.
- Dia membeli uang dolar Amerika Serikat sebanyak $5,000.00 (lima
ribu dolar).
harus tepat.
Misalnya:
- Bukti pembelian barang seharga Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
ke atas harus dilampirkan pada laporan pertanggungjawaban.
- Dia membeli uang dolar Amerika Serikat sebanyak $5,000.00 (lima
ribu dolar).
Catatan:
1. Angka Romawi digunakan untuk menyatakan penomoran bab (dalam terbitan
atau produk perundang-undangan) dan nomor jalan.
2. Angka Romawi tidak digunakan untuk menyatakan jumlah.
3. Angka Romawi kecil digunakan untuk penomoran halaman sebelum BAB I
dalam naskah dan buku.
6. Penulisan Unsur Serapan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, seperti Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Cina, dan Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, dan de l'homme par l'homme. Unsur-unsur itu dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi cara pengucapan dan penulisannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur asing yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal itu, diusahakan ejaannya disesuaikan dengan Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga agar bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, seperti Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Cina, dan Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, dan de l'homme par l'homme. Unsur-unsur itu dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi cara pengucapan dan penulisannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur asing yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal itu, diusahakan ejaannya disesuaikan dengan Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga agar bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Catatan:
1. Unsur serapan yang sudah lazim dieja sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia tidak perlu lagi diubah.
Misalnya:
bengkel, kabar, nalar, paham, perlu, sirsak
2.
Sekalipun dalam ejaan yang disempurnakan huruf q dan x diterima
sebagai bagian abjad bahasa Indonesia, unsur yang mengandung kedua
huruf itu diindonesiakan menurut kaidah yang dipaparkan di atas. Kedua
huruf itu dipergunakan dalam penggunaan tertentu saja, seperti dalam
pembedaan nama dan istilah khusus. Di samping pegangan untuk penulisan
unsur serapan tersebut di atas, di bawah ini didaftarkan juga
akhiran-akhiran asing serta penyesuaiannya dalam bahasa Indonesia.
Akhiran itu diserap sebagai bagian kata yang utuh. Kata seperti
standardisasi, efektif, dan implementasi diserap secara utuh di samping
kata standar, efek, dan implemen.
SUMBER:
perajin atau pengrajin
BalasHapus